Rabu, 15 September 2010

Renungan untuk Tidak Berfikir Picik (Taushiyah)


Renungan untuk Tidak Berfikir Picik (Taushiyah)

Oleh: Muh. Ihsan ibnu Zainuddin, Lc.
Pengamat dan Pendukung Dakwah Salafiyah


SAYA  bersyukur kepada Allah yang telah memberikan saya hidayah untuk meyakini bahwa Islam yang benar hanya dapat dipahami dan diamalkan seba-gaimana manhaj para As-Salaf Ash Shaleh. Saya juga bersyukur karena Allah juga memberikan rasa cinta dalam hati saya kepada generasi terbaik itu.
    Walaupun saya tak pernah bisa benar-benar sama dengan mereka (dan tak akan pernah sama), bahkan menyerupai pun rasanya jauh. Apa sih yang dapat kita lakukan di zaman yang penuh fitnah ini, selain berusaha meperkecil perbedaan kondisi pribadi kita (dalam hal aqidah, ibadah, mu'amalah dan akhlak) dengan kondisi keseharian kaum salaf ?
    Di zaman ini, pengakuan diri  sebagai seorang salafy  mungkin  hanya  bisa  diterjemah-kan sebagai kesalaf-salafan saja, atau berusaha untuk menyerupai kaum As salaf  Ash Shaleh  saja. Dan itu sekali lagi amat berat. Jika ada yang merasa lebih dari itu, merasa  diri benar-benar pas dengan kehidupan kaum As Salaf Ash Shaleh, maka  menurut saya ia  hanyalah  orang yang tertipu oleh dirinya sendiri.
    Kita sekarang  ini hanya dapat menghibur diri dengan pesan Nabi  shallallahu ‘alaihi wassalam kepada seorang sahabat, “Se-seorang itu (kelak di akhirat) akan bersama dengan orang yang ia cintai.”
    Mudah-mudahan dengan kecintaan pada generasi As Salaf Ash Shaleh, kelak kita akan bersama-sama mereka di surga. Semoga.
    Dan sejak mengenal manhaj salaf sebagai satu-satunya metode yang benar dalam memahami Islam, saya pun  merasa tersejukkan setiap kali mendengar apapun mengenai manhaj ini dan para pejuang-pejuangnya. Saya begitu yakin, bahwa  manhaj salaf adalah Islam itu sendiri.
    Ya,  ia adalah  penje-lasan,  penjabaran, dan  gambaran tentang Islam itu sendiri, yang begitu lengkap, menyeluruh dan mencakup seluruh aspek ke-hidupan.
    Sejak awal, saya telah meyakini bahwa Islam adalah jalan hidup yang indah dan me-nyejukkan. Maka dalam hati saya pun  terpatri lah  keyakinan  bahwa manhaj salaf pun pastilah sebuah manhaj yang indah dan me-nyejukkan.
    Itulah keyakinan saya hingga kini dan Insya Allah akan menjadi aqidah saya hingga maut datang menjemput.
Ya Allah, kabulkanlah!
    Oleh sebab itu, saya sangat sedih  bila ada sebagian pejuang da'wah salafiyah yang justru membuat keindahan dan kesejukan  manhaj salaf itu ter-nodai, hanya dikarenakan pe-mahaman yang tidak benar, bahkan cenderung picik terhadap manhaj yang agung ini.
    Hanya mengambil se-potong-potong, lalu melakukan penyerangan  ke  sana  ke mari. Dan yang lebih hebat lagi, penyerangan itu disertai nukilan-nukilan dalil dan pendapat para ulama yang tidak ditempatkan pada tempat yang semestinya, ditambah dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar.
    Akibatnya, perpecahan-yang nota bene merupakan salah satu tanda pokok ahlul bid'ah- justru menjadi fenomena yang tak asing lagi di kalangan orang-orang yang mengaku berjuang di atas manhaj salaf.
    Bahkan tidak sekedar berpecah. Mereka juga saling menyerang, menuduh dan me-nuding. Maka anda dapat me-nyaksikan betapa banyak murid-murid yang dengan penuh gagah berani menyerang (bekas) ustadz ustadz nya. Padahal  sang ustadz  lah  yang memperkenalkan manhaj salaf kepada mereka.
    Dan yang lebih lucu lagi,  muncul fenomena bantah mem-bantah via kaset. Bila seseorang  membuat tahdzir terhadap si fulan  dalam 3 kaset, maka tunggulah bantahan si fulan dalam 5 kaset.
    Siapapun yang melihat ini akan tertegun heran. Para   ahlul bid'ah  akan  bersorak-sorai  melihat pertarungan antar pejuang Ahlussunnah.  Namun saya  sangat sedih. Inikah yang diwariskan oleh generasi As Salaf Ash Shaleh ? begitulah bunyi pertanyaan yang hingga kini selalu merisaukan hati saya.
    Pertanyaan itu terus  menggelora, hingga saya menyim-pulkan (sesuai kapasitas  ilmu saya yang masih sedikit) bahwa nampaknya ada kesalahan dalam memahami manhaj ini.
    Dalam manhaj Ahlus-sunnah, perbedaan pendapat tidaklah identik dengan per-pecahan. Semuanya pasti mengetahuinya. Namun tidak  banyak  yang benar-benar faqih dan santun menerapkannya.               Terkadang  masalah yang  ijtihadiyah  dijadikan  sebagai pangka l perpecahan. Hanya  karena satu masalah yang para ulama besar pun berbeda pendapat di dalamnya, seseorang begitu mudah mengeluarkan saudaranya  dari lingkaran ahlusunnah wal-jama'ah.
    Padahal generasi As-Salaf Ash Shaleh telah mewariskan kepada kita Adab Al Khilaf (adab dan etika berbeda pendapat). Seperti ditunjukkan dengan sangat indah oleh Imam Syafi'iy kepada salah seorang lawan diskusinya, yang tidak lain adalah muridnya sendiri, “Tidak pantas kah  kita  tetap bersaudara, walaupun kita berbeda  pendapat dalam  beberapa masalah?”  Dan Beliau mengu-capkannya  seraya menggenggam tangan muridnya itu. Alangkah  indahnya  jika  para  pejuang da'wah  Salafiyyah bila kita bisa seperti itu.
    Yang  menyedihkan, sebagian anak-anak muda (ikhwan maupun akhwat) yang baru kemarin sore belajar manhaj salaf sudah berani melemparkan vonis  sesat  kepada para  pejuang / da’i yang sudah bertahun-tahun menda'wahkan manhaj salaf.
Belum lagi selesai memahami dengan baik buku kecil Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan (Syarh Ushul Al Iman),  sudah berani menyesatkan orang lain. Bahkan membaca Al-Qur'an pun masih terbata-bata.
    Dalam sejarah kaum salaf, kita tidak pernah menemukan ada seorang murid yang baru belajar Islam lalu kemudian berkoar-koar menyesat-kan  para salafy lainnya.

Mencela Buku Karya Ulama Besar

    Yang lebih mempri-hatinkan, ada suara-suara yang mencela buku karya ulama  besar, hanya karena tidak sesuai dengan  pendapat  atau  kemauan  ustadz nya.
    Contohnya adalah buku Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah. Buku tersebut  adalah  kumpulan ce-ramah dan fatwa Beliau  yang berkaitan dengan Shahwah Is-lamiyah, yang kemudian dikum-pulkan menjadi sebuah buku.
    Bila kita mempunyai edisi aslinya, pada halaman dalam setelah  lembar judul, kita akan menemukan tulisan tangan Beliau yang dengan sangat jelas memberikan izin dan persetujuan terhadap pencetakan buku tersebut.
    Hingga kini buku tersebut telah dicetak ulang beberapa kali. Bahkan dijadikan sebagai referensi utama oleh para du'at salafiyyun baik dalam ceramah lisan maupun tulisan.
    Kita bisa melihat misalnya dalam jurnal ilmiah Al Ashalah  yang dipimpin oleh Syaikh Salim Al Hilaly, salah seorang murid Syekh Al Albany. Dalam edisi No.20 / Syawal 1421 H,  dinukilkan fatwa Syaikh yang terdapat pada buku ini.
    Dengan demikian, tidak ada satupun yang dapat menggoyahkan  keabsahan  buku ini  sebagai rujukan  para pendukung  kebangkitan Islam.
    Namun sayang, saya kembali  mendengar (setelah cukup lama saya mendengarnya)  suara-suara yang mengatakan, bahwa buku itu sudah dinasakh (dihapus), buku itu dikritik oleh para ulama, bahkan yang lebih ekstrim mengatakan bahwa  buku itu sudah diajukan ke Mahkamah. 
    Luar biasa!!! Anehnya, semuanya  berdasarkan  katanya (atau dalam bahasa Arab: Qiila wa qaala). Orang-orang yang mengatakan tuduhan ini tidak mempunyai satu bukti apapun. Apakah hanya karena sebuah buku dari seorang ulama Ahlussunnah  itu tidak sejalan dengan kebiasaan bermanhaj salaf  sang penuduh selama ini, sehingga dia  kemudian membuat fitnah dan tuduhan terhadap buku tersebuti ???
    Dan ini adalah pesan saya kepada siapa saja yang bermanhaj salaf :
    kita semua telah mengetahui sebuah kaidah (fiqih) yang berbunyi,  Al Yaqin La Yazuulu Bisysyak (sebuah keyakinan tidak dapat dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan).
    Ini adalah sebuah kaidah yang sangat penting dan berlaku dalam seluruh aspek kehidupan. Bila kita  telah mengetahui  dengan yakin bahwa seseorang itu Muslim, maka keyakinan itu tidak dapat kita gugurkan hanya dengan isu yang kita dengan bahwa ia telah kafir. Atau hanya karena kita ragu apakah ia masih Muslim atau sudah kafir, kita tidak dapat mengkafirkannya, sampai   akhirnya kita mempunyai bukti yang memyakinkan  bahwa  ia  telah  kafir.
    Begitu pula kasusnya dengan buku Panduan  Kebangkitan Islam ini. Tulisan tangan Syaikh Al 'Utsaimin dalam halaman dalam buku tersebut, dan dicetaknya  Beliau secara berulang-ulang hingga kini adalah bukti yang meyakinkan kita, bahwa buku tersebut tidak pernah ditarik dari peredaran, apalagi sampai   diajukan ke Mahkamah.
    Syekh Al 'Utsaimin adalah seorang ulama besar. Apapun yang terjadi berkaitan dengan beliau dan karya-karya beliau pastilah tidak luput dari perhatian  para  thullaabul 'ilmi. Kalau bisa dikatakan, apapun yang terjadi berkaitan dengan beliau tentu akan segera menjadi berita yang mutawatir, setidaknya  di  Saudi Arabia, negara tempat beliau tinggal.
    Namun hingga hari ini, kita tak pernah mendengar apapun dari beliau tentang buku ini, selain kabar-kabar burung yang dise-barkan oleh orang-orang yang terusik cara bermanhaj salaf-nya dengan buku Syaikh ini. Semoga Allah merahmati beliau. 
    Demikianlah isi hati saya berkaitan dengan buku beliau.                           
Namun sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menitipkan dua buah pesan sederhana:

Pertama,
Untuk  Para Tunas  Baru Salafiyyun.

    Teruslah memperdalam manhaj salaf dengan benar. Lakukanlah muhasabah terhadap aqidah kita, sudah sesuai kah dengan manhaj salaf? Terhadap ibadah kita, sudah tepatkah? Dan  yang  tak kalah pentingnya terhadap akhlak dan perilaku kita, semakin luhurkah kita?  Semakin santunkah   kita ?
    Kita pasti tahu bahwa Nabi Shallallahu 'alahi wasallam ( penghulu para salafiyyun)  diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Ingatlah,  bahwa akhlaq  yang buruk menunjukkan adanya ketidakberesan dalam memahami manhaj yang agung dan mulia ini.  Ohya,teruslah belajar! Jangan disibukkan dengan aneka syubhat dan fitnah.  Kalau ada yang menyodorkan kaset yang me-nyerang sesama pejuang Ahlus-sunnah sebaiknya gunakan saja untuk merekam kaset muratthal. Atau katakan kepada yang meminjamkan, "Maaf, saya sedang menghafal juz 'amma...atau membaca Prinsip-prinsip Dasar Keimanan...atau  membaca  Kitabul Jami' yang mengajarkan akhlaq Islam.”

Kedua,
kepada para ustadz pejuang manhaj salaf-yang menuduh dan yang tertuduh

     Ahlussunnah dan salafiyyun adalah minoritas di negeri ini. Tak terhitung lagi berapa jumlah musuh-musuh Ahlussunnah. Sementara perjalanan masih amat panjang untuk menyebarkan manhaj yang haq ini.
    Lalu mengapa saling menuduh ? Tidaklah lebih baik bila kita membersihkan hati dari hasad, dengki dan penyakit hati lainnya, lalu bergandengan tangan menda'wahkan manhaj ini ? Mungkin kini saatnya ber-muhasabah .  Barangkali  setiap kita masih harus belajar banyak tentang manhaj ini. Tidak ada yang ma'shum selain Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam.
    Akhirnya, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengatakan, “Bila apa yang engkau tuduhkan padaku itu benar, maka mudah-mudahan Allah mengam-puniku. Namun jika apa yang engkau tuduhkan itu tidak benar, maka mudah-mudahan Allah mengampuni kesalahanmu.
Walhamdulillahi Rabbil 'Alamin.

         

          Saya teringat (namun sayang sekali saya lupa dalam kaset Beliau yang mana) ketika seseorang bertanya kepada Syaikh Nashiruddin Al Al Bany tentang Syaikh Salman Al ‘Audah, Beliau rahimahullah menjawab, “Huwa ma’ana ‘ala al khath as salafy (Dia bersama kita di atas jalan salafy)”.
          Lihatlah perbedaan sikap seorang ‘alim yang faqih dengan yang tidak. Syaikh Salman bukanlah seorang yang ma’shum. Beliau juga punya kesalahan (bahkan mungkin lebih banyak). Namun hal itu tidak lah mengeluarkan Beliau dari lingkaran Ahlussunnah.  

Makassar, 30 Rabi'ul Awwal 1424 H
--dari yang berharap menjadi peneladan yang baik bagi kaum As Salaf ash Shaleh--


Oleh: Muh. Ihsan ibnu Zainuddin, Lc.
Pengamat dan Pendukung Dakwah Salafiyah


SAYA  bersyukur kepada Allah yang telah memberikan saya hidayah untuk meyakini bahwa Islam yang benar hanya dapat dipahami dan diamalkan seba-gaimana manhaj para As-Salaf Ash Shaleh. Saya juga bersyukur karena Allah juga memberikan rasa cinta dalam hati saya kepada generasi terbaik itu.
    Walaupun saya tak pernah bisa benar-benar sama dengan mereka (dan tak akan pernah sama), bahkan menyerupai pun rasanya jauh. Apa sih yang dapat kita lakukan di zaman yang penuh fitnah ini, selain berusaha meperkecil perbedaan kondisi pribadi kita (dalam hal aqidah, ibadah, mu'amalah dan akhlak) dengan kondisi keseharian kaum salaf ?
    Di zaman ini, pengakuan diri  sebagai seorang salafy  mungkin  hanya  bisa  diterjemah-kan sebagai kesalaf-salafan saja, atau berusaha untuk menyerupai kaum As salaf  Ash Shaleh  saja. Dan itu sekali lagi amat berat. Jika ada yang merasa lebih dari itu, merasa  diri benar-benar pas dengan kehidupan kaum As Salaf Ash Shaleh, maka  menurut saya ia  hanyalah  orang yang tertipu oleh dirinya sendiri.
    Kita sekarang  ini hanya dapat menghibur diri dengan pesan Nabi  shallallahu ‘alaihi wassalam kepada seorang sahabat, “Se-seorang itu (kelak di akhirat) akan bersama dengan orang yang ia cintai.”
    Mudah-mudahan dengan kecintaan pada generasi As Salaf Ash Shaleh, kelak kita akan bersama-sama mereka di surga. Semoga.
    Dan sejak mengenal manhaj salaf sebagai satu-satunya metode yang benar dalam memahami Islam, saya pun  merasa tersejukkan setiap kali mendengar apapun mengenai manhaj ini dan para pejuang-pejuangnya. Saya begitu yakin, bahwa  manhaj salaf adalah Islam itu sendiri.
    Ya,  ia adalah  penje-lasan,  penjabaran, dan  gambaran tentang Islam itu sendiri, yang begitu lengkap, menyeluruh dan mencakup seluruh aspek ke-hidupan.
    Sejak awal, saya telah meyakini bahwa Islam adalah jalan hidup yang indah dan me-nyejukkan. Maka dalam hati saya pun  terpatri lah  keyakinan  bahwa manhaj salaf pun pastilah sebuah manhaj yang indah dan me-nyejukkan.
    Itulah keyakinan saya hingga kini dan Insya Allah akan menjadi aqidah saya hingga maut datang menjemput.
Ya Allah, kabulkanlah!
    Oleh sebab itu, saya sangat sedih  bila ada sebagian pejuang da'wah salafiyah yang justru membuat keindahan dan kesejukan  manhaj salaf itu ter-nodai, hanya dikarenakan pe-mahaman yang tidak benar, bahkan cenderung picik terhadap manhaj yang agung ini.
    Hanya mengambil se-potong-potong, lalu melakukan penyerangan  ke  sana  ke mari. Dan yang lebih hebat lagi, penyerangan itu disertai nukilan-nukilan dalil dan pendapat para ulama yang tidak ditempatkan pada tempat yang semestinya, ditambah dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar.
    Akibatnya, perpecahan-yang nota bene merupakan salah satu tanda pokok ahlul bid'ah- justru menjadi fenomena yang tak asing lagi di kalangan orang-orang yang mengaku berjuang di atas manhaj salaf.
    Bahkan tidak sekedar berpecah. Mereka juga saling menyerang, menuduh dan me-nuding. Maka anda dapat me-nyaksikan betapa banyak murid-murid yang dengan penuh gagah berani menyerang (bekas) ustadz ustadz nya. Padahal  sang ustadz  lah  yang memperkenalkan manhaj salaf kepada mereka.
    Dan yang lebih lucu lagi,  muncul fenomena bantah mem-bantah via kaset. Bila seseorang  membuat tahdzir terhadap si fulan  dalam 3 kaset, maka tunggulah bantahan si fulan dalam 5 kaset.
    Siapapun yang melihat ini akan tertegun heran. Para   ahlul bid'ah  akan  bersorak-sorai  melihat pertarungan antar pejuang Ahlussunnah.  Namun saya  sangat sedih. Inikah yang diwariskan oleh generasi As Salaf Ash Shaleh ? begitulah bunyi pertanyaan yang hingga kini selalu merisaukan hati saya.
    Pertanyaan itu terus  menggelora, hingga saya menyim-pulkan (sesuai kapasitas  ilmu saya yang masih sedikit) bahwa nampaknya ada kesalahan dalam memahami manhaj ini.
    Dalam manhaj Ahlus-sunnah, perbedaan pendapat tidaklah identik dengan per-pecahan. Semuanya pasti mengetahuinya. Namun tidak  banyak  yang benar-benar faqih dan santun menerapkannya.               Terkadang  masalah yang  ijtihadiyah  dijadikan  sebagai pangka l perpecahan. Hanya  karena satu masalah yang para ulama besar pun berbeda pendapat di dalamnya, seseorang begitu mudah mengeluarkan saudaranya  dari lingkaran ahlusunnah wal-jama'ah.
    Padahal generasi As-Salaf Ash Shaleh telah mewariskan kepada kita Adab Al Khilaf (adab dan etika berbeda pendapat). Seperti ditunjukkan dengan sangat indah oleh Imam Syafi'iy kepada salah seorang lawan diskusinya, yang tidak lain adalah muridnya sendiri, “Tidak pantas kah  kita  tetap bersaudara, walaupun kita berbeda  pendapat dalam  beberapa masalah?”  Dan Beliau mengu-capkannya  seraya menggenggam tangan muridnya itu. Alangkah  indahnya  jika  para  pejuang da'wah  Salafiyyah bila kita bisa seperti itu.
    Yang  menyedihkan, sebagian anak-anak muda (ikhwan maupun akhwat) yang baru kemarin sore belajar manhaj salaf sudah berani melemparkan vonis  sesat  kepada para  pejuang / da’i yang sudah bertahun-tahun menda'wahkan manhaj salaf.
Belum lagi selesai memahami dengan baik buku kecil Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan (Syarh Ushul Al Iman),  sudah berani menyesatkan orang lain. Bahkan membaca Al-Qur'an pun masih terbata-bata.
    Dalam sejarah kaum salaf, kita tidak pernah menemukan ada seorang murid yang baru belajar Islam lalu kemudian berkoar-koar menyesat-kan  para salafy lainnya.

Mencela Buku Karya Ulama Besar

    Yang lebih mempri-hatinkan, ada suara-suara yang mencela buku karya ulama  besar, hanya karena tidak sesuai dengan  pendapat  atau  kemauan  ustadz nya.
    Contohnya adalah buku Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah. Buku tersebut  adalah  kumpulan ce-ramah dan fatwa Beliau  yang berkaitan dengan Shahwah Is-lamiyah, yang kemudian dikum-pulkan menjadi sebuah buku.
    Bila kita mempunyai edisi aslinya, pada halaman dalam setelah  lembar judul, kita akan menemukan tulisan tangan Beliau yang dengan sangat jelas memberikan izin dan persetujuan terhadap pencetakan buku tersebut.
    Hingga kini buku tersebut telah dicetak ulang beberapa kali. Bahkan dijadikan sebagai referensi utama oleh para du'at salafiyyun baik dalam ceramah lisan maupun tulisan.
    Kita bisa melihat misalnya dalam jurnal ilmiah Al Ashalah  yang dipimpin oleh Syaikh Salim Al Hilaly, salah seorang murid Syekh Al Albany. Dalam edisi No.20 / Syawal 1421 H,  dinukilkan fatwa Syaikh yang terdapat pada buku ini.
    Dengan demikian, tidak ada satupun yang dapat menggoyahkan  keabsahan  buku ini  sebagai rujukan  para pendukung  kebangkitan Islam.
    Namun sayang, saya kembali  mendengar (setelah cukup lama saya mendengarnya)  suara-suara yang mengatakan, bahwa buku itu sudah dinasakh (dihapus), buku itu dikritik oleh para ulama, bahkan yang lebih ekstrim mengatakan bahwa  buku itu sudah diajukan ke Mahkamah. 
    Luar biasa!!! Anehnya, semuanya  berdasarkan  katanya (atau dalam bahasa Arab: Qiila wa qaala). Orang-orang yang mengatakan tuduhan ini tidak mempunyai satu bukti apapun. Apakah hanya karena sebuah buku dari seorang ulama Ahlussunnah  itu tidak sejalan dengan kebiasaan bermanhaj salaf  sang penuduh selama ini, sehingga dia  kemudian membuat fitnah dan tuduhan terhadap buku tersebuti ???
    Dan ini adalah pesan saya kepada siapa saja yang bermanhaj salaf :
    kita semua telah mengetahui sebuah kaidah (fiqih) yang berbunyi,  Al Yaqin La Yazuulu Bisysyak (sebuah keyakinan tidak dapat dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan).
    Ini adalah sebuah kaidah yang sangat penting dan berlaku dalam seluruh aspek kehidupan. Bila kita  telah mengetahui  dengan yakin bahwa seseorang itu Muslim, maka keyakinan itu tidak dapat kita gugurkan hanya dengan isu yang kita dengan bahwa ia telah kafir. Atau hanya karena kita ragu apakah ia masih Muslim atau sudah kafir, kita tidak dapat mengkafirkannya, sampai   akhirnya kita mempunyai bukti yang memyakinkan  bahwa  ia  telah  kafir.
    Begitu pula kasusnya dengan buku Panduan  Kebangkitan Islam ini. Tulisan tangan Syaikh Al 'Utsaimin dalam halaman dalam buku tersebut, dan dicetaknya  Beliau secara berulang-ulang hingga kini adalah bukti yang meyakinkan kita, bahwa buku tersebut tidak pernah ditarik dari peredaran, apalagi sampai   diajukan ke Mahkamah.
    Syekh Al 'Utsaimin adalah seorang ulama besar. Apapun yang terjadi berkaitan dengan beliau dan karya-karya beliau pastilah tidak luput dari perhatian  para  thullaabul 'ilmi. Kalau bisa dikatakan, apapun yang terjadi berkaitan dengan beliau tentu akan segera menjadi berita yang mutawatir, setidaknya  di  Saudi Arabia, negara tempat beliau tinggal.
    Namun hingga hari ini, kita tak pernah mendengar apapun dari beliau tentang buku ini, selain kabar-kabar burung yang dise-barkan oleh orang-orang yang terusik cara bermanhaj salaf-nya dengan buku Syaikh ini. Semoga Allah merahmati beliau. 
    Demikianlah isi hati saya berkaitan dengan buku beliau.                           
Namun sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menitipkan dua buah pesan sederhana:

Pertama,
Untuk  Para Tunas  Baru Salafiyyun.

    Teruslah memperdalam manhaj salaf dengan benar. Lakukanlah muhasabah terhadap aqidah kita, sudah sesuai kah dengan manhaj salaf? Terhadap ibadah kita, sudah tepatkah? Dan  yang  tak kalah pentingnya terhadap akhlak dan perilaku kita, semakin luhurkah kita?  Semakin santunkah   kita ?
    Kita pasti tahu bahwa Nabi Shallallahu 'alahi wasallam ( penghulu para salafiyyun)  diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Ingatlah,  bahwa akhlaq  yang buruk menunjukkan adanya ketidakberesan dalam memahami manhaj yang agung dan mulia ini.  Ohya,teruslah belajar! Jangan disibukkan dengan aneka syubhat dan fitnah.  Kalau ada yang menyodorkan kaset yang me-nyerang sesama pejuang Ahlus-sunnah sebaiknya gunakan saja untuk merekam kaset muratthal. Atau katakan kepada yang meminjamkan, "Maaf, saya sedang menghafal juz 'amma...atau membaca Prinsip-prinsip Dasar Keimanan...atau  membaca  Kitabul Jami' yang mengajarkan akhlaq Islam.”

Kedua,
kepada para ustadz pejuang manhaj salaf-yang menuduh dan yang tertuduh

     Ahlussunnah dan salafiyyun adalah minoritas di negeri ini. Tak terhitung lagi berapa jumlah musuh-musuh Ahlussunnah. Sementara perjalanan masih amat panjang untuk menyebarkan manhaj yang haq ini.
    Lalu mengapa saling menuduh ? Tidaklah lebih baik bila kita membersihkan hati dari hasad, dengki dan penyakit hati lainnya, lalu bergandengan tangan menda'wahkan manhaj ini ? Mungkin kini saatnya ber-muhasabah .  Barangkali  setiap kita masih harus belajar banyak tentang manhaj ini. Tidak ada yang ma'shum selain Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam.
    Akhirnya, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengatakan, “Bila apa yang engkau tuduhkan padaku itu benar, maka mudah-mudahan Allah mengam-puniku. Namun jika apa yang engkau tuduhkan itu tidak benar, maka mudah-mudahan Allah mengampuni kesalahanmu.
Walhamdulillahi Rabbil 'Alamin.

         

          Saya teringat (namun sayang sekali saya lupa dalam kaset Beliau yang mana) ketika seseorang bertanya kepada Syaikh Nashiruddin Al Al Bany tentang Syaikh Salman Al ‘Audah, Beliau rahimahullah menjawab, “Huwa ma’ana ‘ala al khath as salafy (Dia bersama kita di atas jalan salafy)”.
          Lihatlah perbedaan sikap seorang ‘alim yang faqih dengan yang tidak. Syaikh Salman bukanlah seorang yang ma’shum. Beliau juga punya kesalahan (bahkan mungkin lebih banyak). Namun hal itu tidak lah mengeluarkan Beliau dari lingkaran Ahlussunnah.  

Makassar, 30 Rabi'ul Awwal 1424 H
--dari yang berharap menjadi peneladan yang baik bagi kaum As Salaf ash Shaleh--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar