Kamis, 28 Oktober 2010

filsafat hukum islam

FILSAFAT ISLAM
1. Apa itu Filsafat Islam?
a. Adakah yang disebut Filsafat Islam?
Dalam buku saya yang berjudul Gerbang Kearifan, saya mendiskusikan beberapa pandangan sarjana tentang istilah filsafat Islam. Ada yang megatakan bahwa Islam tidak pernah dan bisa memiliki filsafat yang independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof Muslim adalah pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab, sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan namanama lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam.

Adapun saya sendiri cenderung pada sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan setidaknya 3 alasan.

Pertama: Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan tauhid dan syari’ah ini, sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhid) dan pandangan syari’ah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof Muslim.

Kedua, sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adealah pemerhati flsafat asing yang kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalanya, maka tanpa ragu-ragu mereka mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengertik pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan 1menggantikannnya dengan yang lebih baik. Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan al-Sawi dan Ibn Taymiyyah, juga mengeriktik sistem logika Aristotetles. Sementara al-‘Amiri mengeritik dengan pedas pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan Islam.

Ketiga, adalah adanya perkembangan yang unik dalam filsafat islam, akibat dari interaksiantara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telahmengembangkan beberapa isu filsfat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosofYunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mikraj dsb.

b. Lingkup Filsafat Islam
Berbeda dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini.Ketika Ibn Sina menulis al-Syifa’, yang dipandang sebagai karya utama filsafatnya, ia tidak hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga tentang logika, matematika dan fisika. Dan ia menulisnya sedeikian lengkap pada setiap bidang tersebut, sehingga kita misalnya memiliki beberapa jilid tentang logika, meliputi pengantar, kategori, analitika priora, analitika posteriora, topika, dialektika, retorika, sopistika dan poetika. Sedangkan untuk matematika, ia menulis beberapa jilid meliputi, aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Untuk fisika, ia juga menulis beberapa jilid yang meliputi bidang kosmologi, seperti tentang langit, meteorologi, kejadian dan khancuran yang menandai semua benda fisik, tentang batu-batuan (minerologi), tumbuh-tumbuhan (botani), hewan (zoologi), anatomi, farmakologi, kedokteran dan psikologi. Dan sebagai puncaknya ia menulis tentang metafisika (al-‘ilm al-ilahi) yang meliputi bidang ketuhanan, malaikat dan akal-akal, dan hubungan mereka dengan dunia fisik yang dibahas dalam bidang fisika. Pembicaraan tentang lingkup filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya kesalahpahaman terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya sejauh ia meliputi bidang-bidang metafisik. Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof, dan hanya mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina sebagai ahli kedokteran, ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan metode-metode ilmiah yang digunakannya sama sekali luput dari perhatian kita. Jarang sekali, kalau tidak dikatakan tidak ada, sarjana filsafat Islam di negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang fisika, psikologi, atau geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang sangat dikenal di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qanun fi al-Thibb. Hal ini terjadi, menurut hemat penulis, karena selama ini filsafat hanya dipahami sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga fisika, matematika, seolah dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.

c. Pandangan Filsafat yang Holistik
Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai
sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodologi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bias dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui kebasahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumbersumber yang sah dan penting bagi ilmu. Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama realnya.

2. Peran Filsafat Islam dalam Dunia Modern
a. Menjawab Tantangan Kontemporer
Pada saat ini, dalam pandangan saya, umat Islam telah dilanda berbagai persoalah ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya bagi Laplace (w. 1827), kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi hipotesa.
Dan ia mengatakan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotetsa tersebut, karena alam telah bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan yang telah bertanggung jawab atas keteraturan alam, tetapi adalah hukukm alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam. Demikian juga dalam bidang biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta hewanhewan, karena menurut Darwin (w. 1881), munculnya spesies-spesies hewan adalah karena mekanisme alam sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection). Menurutnya hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Ia pernah berkata, “kerang harus menciptakan engselnya sendiri, kalau ia mau survive, dan tidak karena campur tangan sebuah agen yang cerdas di luar dirinya. Oleh karena itu dalam pandangan Darwin, Tuhan telah berhenti menjadi pencipta hewan. Dalam bidang psikologi, Freud (w. 1941) telah memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan, sebagai konsep, muncul dalam pikiran manusia ketika ia tidak sanggup lagi menghadapi tantangan eksternalnya, serti bencana alam dll., maupun tantangan internalnya, ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan. Sedangkan Emil Durkheim, menyatakan bahwa apa yang kita sebut Tuhan, ternyata adalah Masyarakat itu sendiri yang telah dipersonifikasikan dari nilai-nilai sosial yang ada. Dengan demikian jelaslah bahwa, dalam pandangan sains modern Tuhan tidak memiliki tempat yang spesial, bahkan lama kelamaan dihapus dari wacana ilmiah. Tantangan yang lain juga terjadi di bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi, rkologi dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh kita biarkan tanpa kritik, atau respons kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab tantangan-tantangan tersebut secara rasional dan elegan, dan tidak semata-mata bersifat dogmatis dan otoriter. Dan di sinilah saya melihat bahwa filsafat Islam bisa berperan sangat aktif dan signifikan.

b. Filsafat sebagai Pendukung Agama
Berbeda dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan bagi agama, saya melihat filsafat bisa kita jadikan sebagai mitra atau pendukung bagi agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan filsafat modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara menjawab serangan sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Karena menurut hemat saya tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga secara ilmiah-filosofis dan bukan semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, saya yakin bahwa Islam, pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis. Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya, memang betul. Apaalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam, melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi kalau kita betul-betul mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam juga adalag sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat atau bahwan pendukung agama. Di sini filsafat bisa bertindak sebagai benteng yang melindungi agama dari berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis seperti yang saya deskrisikan di atas. Serangan terhadap eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan berbagai argument adanya Tuhan yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof Muslim, dari al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dll., seperti yang telah saya jelaskan antara lain dalam buku saya Menembus Batas Waktu. Serangan terhadap wahyu bisa dijawab oleh berbagai teori pewahyuan yang telah dikemukakan oleh banyak pemikir Muslim dari al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Taymiyyah, Ibn Rusyd, Mulla Shadra dll.




3. Filsafat Islam di Indonesia
a. Masa Lalu
Filsafat Islam belum begitu dikenal di Indonesia, karena memang filsfat Islam baru diperkenalkan ke publik pada tahun 70-an oleh almarhum Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya yang terkenal Falsafah & Mistisime dalam Islam, yang diterbitkan Bulan Bintang pada tahun 1973. Dalam buku ini pak Harun telah memperkenalkan 6 filosof Muslim yang terkenal yaitu al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, setelah sebelumnya ia membicarakan tentang “Kontak Pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafah Yunani.” Dalam buku ini pak Harun dengan singkat tetapi esensial memperkenalkan biografi dan ajaran para filosof Muslim tersebut, sehingga para mahasiswa Muslim, khususnya mahasiswa IAIN di seluruh Indonesia, telah menyadari keberadaan filsafat Islam yang sebelumnya hampir tidak pernah diperkenalkan kepada mereka. Dan dengan dijadikannya buku tersebut sebagai buku wajib, maka pak Harun boleh dikata telah berhasil memperkenalkan filsafat Islam di Indonesia ini. Tetapi karena buku ini merupakan satu-satunya buku yang digunakan dalam matakuliah filsafat Islam selama puluhan tahun, maka timbul kesan yang keliru bahwa seakan filsafat Islam hanya menghasilkan 6 orang filosof sebagaimana yang diperkenalkan oleh Pak Harun di atas. Untunglah pada tahun 1987 Pustaka Jaya telah menerbitkan sebuah buku terjemahan yang bagus dan komprehensif tentang filsafat Islam karangan Majid Fakhry yang berjudul Sejarah Filsafat Islam, yang diterjemahkan oleh saya sendiri, sehingga dengan demikian sadarlah kita bahwa filsafat Islam telah melahirkan bukan hanya 6 filosof, sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh Pak harun, tetapi puluhan bahkan mungkin ratusan para filosof yang tidak kalah hebatnya daripada filosof-filosof yang telah diperkenalkan sebelumnya. Buku ini menjelaskan filsafat Islam dari sudut historis, yang meliputi paparan tentang perkembangan filsafat sebelum Islam, pada masa awal Islam, masa pertengahan dan masa modern. Dan buku ini telah menikmati posisi yang penting di universitas-universitas Islam, sebagai buku daras yang tak ada duanya pada saat itu. Mahasiswa Muslim sangat diuntungkan dengan kehadiran karya terjemahan ini, karena ia telah banyak mengubah persepsi yang keliru tentang filsafat Islam dari sudut lingkup, rentangan waktu, ajaran dll. Dengan buku ini pula kita menjadi sadar bahwa ternyata filsafat Islam tidak berhenti pada Ibn Rusyd sebagaimana dikesankan setelah membaca buku pak harun, tetapi terus hidup dan berlangsung hingga saat ini.

b. Masa Kini
Yang saya maksud dengan masa kini, adalah kurang lebih periode sepuluh tahun terkahir dari sekarang. Pada saat ini kita telah menikmati banyak informasi tentang filsafat Islam. Diterjemahkannya buku yang diedit oleh M.M. Syarif yang berjudul, History of Muslim Philosophy secara parsial ke dalam bahasa Indonesia telah memperkaya khazanah filsafat Islam di Indonesia. Tetapi tambahan informasi yang sangat signifikan terjedi setelah penerbit Mizan menerjemahkan karya besar dalam sejarah filsafat Islam yang diedit oleh Nasr dan Oliver Leaman, yang berjudul A History of Islamic Philosophy ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul Ensiklopedia Filsafat Islam (dua jilid). Berbagai karya filosofis yang lebih spesifik (misalnya yang membahas tentang pemikiran para filosof tertentu) juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti The Philosophy of Mulla Sadra yang ditulis oleh Fazlur Rahman, yang membahas beberapa aspek dari pemikiran Mulla Shadra, atau Knowledge and Illumination, karangan Hussein Ziai, yang membicarakan secara khusus filsafat iluminasi Suhrawardi. Namun sejauh ini, informasi ini lebih bersandar pada terjemahan dari karya asing, dan bukan karangan sarjana Muslim Indonesia sendiri. Sedikit sekali karya filsafat Islam yang ditulis oleh para penulis negeri ini. Ada misalnya buku tentang Suhrawardi yang ditulis oleh sdr Amroeni, khususnya kritik Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik,atau yang ditulis oleh M. Iqbal tentang Ibn Rusyd, sebagai bapak rasionalisme. Namun tulisan-tulisan tersebut masih bersifat studi tokoh, dan pada dasarnya diadaptasi dari sebuah tesis atau disertasi. Tidak banyak penulis Muslim Indonesia yang menulis buku pengantar terhadap filsafat Islam yang bersifat independen, kecuali pak Haidar Bagir dengan Buku Saku Filsafat Islam-nya, dan saya sendiri dengan Gerbang Kearifan-nya.

4. Menyongsong Masa Depan
a. Rekonstruksi Filsafat Islam
Kita pada dasarnya tidak tahu persis apa yang akan terjadi pada filsafat Islam di masa depan. Tetapi kita bisa menyongsongnya dengan melakukan beberapa kegiatan yang konstruktif bagi masa depan filsafat Islam yang lebih baik. Tetapi terus terang saja saya merasa sedih demi memikirkan betapa sedikitnya usaha-usaha dari para sarjana Muslim di negeri ini untuk mempersiapkan masa depan filsafat Islam yang lebih baik. Banyak sarjanasarjana terbaik Muslim, justru lebih tertarik pada filsafat Barat daripada filsafat Islam sendiri. Nah keadaan inilah yang kemudian mendorong saya untuk menulis beberapa karya filsafat, bukan saja agar filsafat Islam lebih dikenal, tetapi juga sebagai upaya merekonstruksi filsafat Islam agar lebih relevan dengan konteks dan tuntutan masa kini. Nah dalam rangka mengkonstruksi pemikiran filosofis inilah maka saya mencoba untuk menulis beberapa karya, seperti yang akan saya uraikan berikut ini.

1). Remapping Filsafat Islam
Tidak banyaknya buku pengantar filsafat Islam telah menyebabkan banyak ketidakjelasan tentang aspek-aspek apa saja yang diliput dalam filsafat Islam. Oleh karena itu saya merasa terdorong untuk memetakan kembali (remapping) filsafat Islam, dan untuk itu saya menulis sebuah buku pengantar filsafat Islam yang berjudul Gerbang Kearifan. Buku kecil ini dimaksudkan untuk memperkenalkan filsafat Islam dalam berbagai aspeknya. Sering buku pengantar filsafat Islam bersifat monolitik, dalam arti hanya membahas satu aspek tertentu saja dari filsafat Islam, misalnya alirannya saja, sejarahnya saja, atau tokoh-tokohnya saja. Tidak banyak buku pengantar yang mencoba mengenalkan beberapa aspek filsafat Islam sekaligus. Nah, karena itu saya mencoba dalam karya kecil ini memperkenalkan filsafat Islam dalam berbagai aspeknya, seperti aliran-aliran filsafat yang telah dikembangkan di dunia Islam, seperti Peripatetik, Illuminasionis, Irfani dan Hikmah Muta’aliyyah. Selain aliran-aliran, karya ini juga mencoba mediskusikan beberapa topik penting dalam filsafat seperti tentang Tuhan, alam dan manusia. Digambarkan di sini berbagai konsep filosofis tentang Tuhan, seperti Tuhan sebagai Sebab Pertama, sebagai Wajib al-Wujud, sebagai Cahaya dan juga sebagai Wujud Murni. Kemudian beberapa pertanyaan kritis diajukan berkaitan dengan filsafat alam, misalnya, apakah alam dicipta atas kehendak Tuhan atau keniscayaan logis? Apakah alam abadi atau dicipta dalam waktu? Apakah alam telah ditentukan secara deterministik atau berkembang secara evolutif? Dan apakah alam diatur secara langsung oleh Tuhan atau didelegasikan kepada sebab sekunder? Adapun tentang manusia, maka dibahas di sini manusia sebagai mikrokosmos, manusia sebagai tujuan akhir penciptaan, manusia sebagai theomorfis dan juga disinggung tentang manusia dan kebebasan memilihnya. Selain aspek historis (dalam bentuk aliran-aliran) dan tema-tema utama, Gerbang Kearifan juga membahas tentang hubungan filsafat dan disiplin ilmu lainnya. Misalnya dijelaskan di dalamnya, bagaimana hubungan antara filsafat dan sains, filsafat dan agama, serta hubungan filsafat dan mistisime atau tasawuf. Dan terkahir buku ini juga membicarakan tentang ladang-ladang potensial yang bisa digarap untuk kajian masa depan filsafat Islam. Ladang-ladang potensial tersebut antara lain, (1) studi biografis, yang memperkenalkan ribuan ilmuan-filosof Muslim, (2) studi gnomologis, yang mencoba membahas berbagai karya
hikmah yang pernah dibuat oleh para filosof Muslim, (3) sains Islam, yang sangat penting dikaji ulang tetapi yang sangat terabaikan, (4) filsafat perenial, yang membahas pemikiran dari berbagai pemikir Muslim perenial yang umumnya berasal dari Eropa, yang telah banyak menghasilkan karya-karya besar, dan terakhir (5) filsafat paska-Ibn Rusyd, yang akan membicarakan perkembangan filsafat Islam setelah masa Ibn Rusyd hingga saat ini. Dengan demikian jelas, bahwa Gerbang Kearifan berusaha untuk memetakan kembali seluruh hasil pemikiran filsafat Islam dalam suatu kesatuan yang padu.

2) Rekonstruksi Epistemologis
Problem lain yang dihadapi filsafat Islam pada saat ini adalah tidak jelasnya padakebanyakan pembaca filsafat Islam di negeri ini tentang bangunan epistemologi Islam. Banyak kesimpang-siuran yang terjadi dan ketidak-jelasan yang dapat ditemukan di bidang yang satu ini. Saya sampai pada kesimpulan bahwa sebuah karya yang khusus di bidang ini untuk merekonstruksi bangunan epistemologi Islam perlu ditulis. Inilah yang mendorongsaya kemudian untuk menulis sebuah karya epistemologi yang berjudul Menyibak TiraiKejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Dalam karya yang terbit pada tahun 2003 ini saya mencoba untuk merekonstruksi epistemologi Islam dalam 14 bab. Menurut saya adalah penting untuk pertama-tama mengerti betul apa yang disebut ilmu dalam tradisi Islam dan bedanya dengan sains. Ilmu dibedakan dengan sains terutama dalam lingkupnya. Sementara sains modern membatasi lingkupnya hanya pada bidang-bidang fisik-empiris, ilmu dalam tradisi ilmiah Islam meliputi bukan hanya bidang fisik tetapi juga bidang matematik dan bahkan metafisik.


3). Integrasi Ilmu
Hal lain yang perlu dikonstruksi ulang adalah soal integrasi ilmu. Dikotomi yang terjadi antara ilmu-ilmu agama, di sati pihak, dan ilmu-ilmu umum, di pihak lain telah menimbulkan berbagai masalah keilmuan yang merugikan. Terjadinya penolakan terhadap keabsahan ilmiah dari keduaanya seringkali terjadi. Oleh karena itu perlu sekali dicari jalan untuk menjembatani dan mengintegrasikan berbagai aspek keilmuan tersebut dalam suatu pandangan yang holistik-integral. Untuk menjawab tantangan inilah, maka kemudian saya mencoba merumuskan integrasi ilmu ini dalam karya saya yang lain yang berjudul Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Maka berbagai aspek integrasi ilmu terus ditelusuri dan diteliti. Dari penelitian ini maka dirmuskan bahwa sumber dari segala integrasi ilmu ini tidak lain daripada konsep tawhid, yang merupakan ajaran yang paling fundamental dalam Islam. Adapun integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum terletak pada kenyataan bahwa objek dari kedua jenis ilmu tersebut adalah sama, yakni sama-sama sebagai ayat Allah. Ilmu-ilmu agama telah menjadikan al-Qur’an sebagai objek utama penelitiannya, sedangkan ilmu-ilmu umum telah menjadikan alam sebagai objek utama, Baik al-Qur’an maupun alam dipandang dalam tradisi ilmiah Islam sebagai ayat-ayat Allah, hanya saja yang pertama ayat qawliyyah sedangkan yang kedua kawniyyah. Persoalan sebenarnya timbul ketika ilmu-ilmu umum berhenti memandang alam sebagai ayat Allah, sementara ilmu-ilmu agama masih memandang al-Qur’an sebagai ayat Allah. Menurut hemat saya kalau saja kita bias memandang alam sebagai ayat Allah dalam penelitian ilmiah kita, maka konflik antara agama dan sains bisa dihindarkan. Selain menemukan titik temu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, perlu juga dirumuskan ulang integrasi di berbagai bidang keilmuan, seperti integrasi objek-objek ilmu, integrasi bidang ilmu, sumber ilmu, dan metode ilmiah, dll..Dalam soal integrasi objek ilmu, epistemologi Islam tidak membatasi objek ilmu hanya pada objek-objek fisik, tetapi juga objek-objek non-fisik, dan ini tentu saja didasarkan pada keyakinan para ilmuwan Muslim pada realitas atau status ontologis dari objek-objek tersebut, baik yang fisik maupun non-fisik. Dengan diakuinya objek-objek fisik dan non-fisik tersebut, maka mudah untuk membayangkan adanya integrasi di bidang-bidang atau cabang-cabang ilmu yang berbeda sifat-sifatnya. Maka dalam karya ini saya menunjukkan adanya integrasi antara ilmu-ilmi fisika, yang meliputi minerologi, botani, zoologi, anatomi, kedokteran dan psikologi, ilmu-ilmu matematika, yang meliputi aritmatika, geometri, aljabar, optik, music dan astronomi, dan ilmu-ilmu metafisik, yang meliputi, ontologi, teologi, kosmologi, antropologi dan eskatologi. Selain pada objek dan bidang ilmu, integrasi juga perlu dirumuskan dalam kaitannya dengan sumber ilmu. Dalam epistemologi Islam, sumber ilmu tidak dibatasi hanya pada persepsi inderawi, tetapi juga meliputi penalaran rasional dan persepsi atau pengalaman intuitif, dan sekaligus juga wahyu. Sumber-sumber yang berbeda ini, sekalipun dapat dibedakan satu sama lain, tetapi tidak dipandang secara terpisah-pisah melainkan dibingkai dalam sebuah bangunan yang holistik. Sumber-sumber yang berbeda ini dipandang sama-sama sahnya sebagai sumber ilmu, sehingga epistemologi Islam memiliki sumber ilmu yang lebih kaya ketimbang epistemologi Barat yang hanya menerima persepsi indrawi sebagai sumber yang sah bagi ilmu. Namun integrasi di bidang sumber-sumber ilmu, ini juga harus diikut oleh integrasi di bidang metode ilmiah. Adanya objek-objek ilmu yang berbeda sifat dasarnya, menyebabkan ilmuwan-ilmuwan Muslim berusaha membangun berbagai metode ilmiah yang berbeda-beda. Karena metode observasi yang biasa digunakan untuk objekobjek fisik, tentu saja tidak bisa digunakan untuk meneliti objek-objek akal yang bersifat abstrak atau immaterial. Tentu untuk itu perlu dicari metode lain yang tepat untuknya. Dengan demikian maka dalam Integrasi Ilmu ini saya mencoba mendiskusikan sekurangnya empat macam metode ilmiah yang pernah digunakan oleh para ilmuwan Muslim, yaitu tajribi (metode eksperimen), burhani (metode logika demonstratif), ‘irfani (metode intuitif) dan bayani (metode hermeneutik, yang digunakan untuk memahami naskah suci).

b. Reaktualisasi Tradisi Filsafat Islam
1) Membangun Tradisi Ilmiah Baru
Upaya rekonstruksi filsafat Islam seperti yang saya lakukan dalam karya-karya di atas, tentunya telah memberi sumbangan yang cukup berarti kepada wacana filosofis Islam di Indonesia. Namun wacana saja, saya anggap tidak akan betul-betul signifikan bagi perkembangan filsafat di negeri ini. Upaya-upaya yang lebih real dan kongkrit harus terus dilakukan, agar kehadiran dan perkembangan filsafat Islam semakin terasa. Ada setidaknya dua upaya yang telah saya lakukan: (1) membangun tradisi ilmiah Islam, dan (2) mendirikan pusat kajian dan informasifilsafat Islam. Marilah kita mulai dengan yang pertama. Kemajuan yang berati dari ilmu pengetahuan nampaknya tidak akan betul-betul tercapai sampai suatu bangsa memiliki tradisi ilmiahnya. Barat maju dalam ilmu dan memberi banyak sumbangan kepada peradaban dunia karena ia memiliki tradisi ilmiah yang agung. Demikian juga para ilmuwan Muslim pada masa lalu telah terbukti secara historis meraih prestasi ilmiah yang sangat gemilang dan memberikan sumbangan yang sangat signifikan kepada peradaban dunia, karena mereka memiliki sebuah tradisi ilmiah yang mapan dan karakteristik yang berbeda dengan tradisi ilmiah Barat. Dengan demikian saya sampai pada kesimpulan bahwa tanpa dimilikinya sebuah tradisi ilmiah tertentu, maka bangsa kita tidak akan mencapai prestasi yang gemilang dalam hal kemajuan ilmu. Oleh karena itu, upaya yang sungguh-sungguh perlu dilakukan untuk membangun sebuah tradisi ilmiah tertentu di negeri ini. Namun untuk mampu mendirikan sebuah tradisi ilmiah yang didambakan tidaklah mudah, dan kita membutuhkan sebuah model ideal untuk kita tiru. Untuk keperluan itulah maka saya mencoba, dalam buku saya yang lain Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, untuk memberi gambaran yang gamblang tentang bagaimana sebuah tradisi ilmiah dibangun. Tradisi ilmiah Islam saya pilih sebagai model ideal untuk membangun tradisi ilmiah, karena pertama tradisi ini lebih cocok kita kembangkan di negeri ini yang berpenduduk mayoritas Muslim. Kedua karena tradisi ilmiah Barat telah lama diperkenalkan di sini, dan kita membutuhkan sebuah tradisi ilmiah yang baru sebagai alternatif. Dalam buku Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam ini saya mencoba memotret tradisi ilmiah Islam dengan gamblang dengan maksud mencari tahu apa rahasia sukses para ilmuwan Muslim pada masa kejayaannya, untuk kemudian kita tiru, sehingga terbangunlah sebuah tradisi ilmiah yang didambakan. Buku ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan penting, yaitu (1) faktor-faktor apa yang telah mendorong pesatnya ilmu pengetahuan di masa kejayaan Islam? (2) Lembaga-lembaga pendidikan yang bagaimana yang telah bertanggung jawab atas munculnya ratusan ilmuwan Muslim yang agung di berbagai bidang, dan (3) apa sistempendidikan yang diterapkan di sana? Selain tiga pertanyaan di atas adalah lagi tiga pertanyaan yang tidak kalah fundamentalnya yaitu (4) kegiatan-kegiatan ilmiah apa saja yang telah dilakukan para ilmuwan Muslim sehingga mereka telah melahirkan ratusan ribu karya ilmiah di berbagai bidang? (5) riser-riset ilmiah yang bagaimana yang mereka lakukan sehingga mereka berhasil mengembangkan berbagai disiplin ilmiah, baik yang berkenaan dengan ilmu-ilmu agama (naqliyyah) maupun umum (‘aqliyyah) dan terakhir (6) metodemetode ilmiah apa saja yang mereka gunakan dalam mempelajarai dan menganalisa berbagai objek ilmu yang berbeda-beda jenis dan sifat dasarnya? Dari upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini maka kita kemudian menjadi tahu apa yang menjadi kunci sukses mereka. Pertama, faktor-faktor yang mendorong pesatnya ilmu pengetahuan pada masa itu adalah (1) dorongan religius di mana agama Islam sangat menekankan pentingnya bagi umat Islam untuk menuntut ilmu, dengan menjadikannya sebagai kewajiban agama. (2) apresiasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap ilmu, ilmuwan dan buku, dan (3) patronasi yang sangat besar dan tulus dari para penguasa dan pengusaha terhadap perkembangan ilmu. Sebuah bangsa yang tidak lagi mempedulikan kewajiban agama dalam menuntut ilmu, tidak adanya apresiasi yang tinggi terhadap ilmu
dan tidak ada pengayoman yang serius terhadap dari para penguasa dan pengusaha terhadap ilmu, maka di sana sulit dibayangkan ilmu pengetahuan akan mendapat kemajuan. Selanjutnya tentang lembaga pendidikan yang di bangun pada masa itu, kita jadi mengenal dua jenis lembaga pendidikan. Pertama lembaga pendidikan formal dan yang kedua informal. Perdidikan formal berupa madrasah (colleges) yang didirikan para penguasa untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sedangkan lembaga-lembaga informal meliputi banyak jenis: akademi, perpustakaan, rumah sakit, observatorium, dan zawiyyah. Melalui lembagalembaga informal ini maka disiplin-disiplin ilmu umum telah dikembangkan dengan baik.













Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi filsafat orang Yunani kuno. Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk. pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan criteria bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra kita menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya dianggap salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat). Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian besar yakni: (a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being), (b) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas), (c) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (aksiologi). Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:

1. Wittgenstein mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris, tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau ″metafisik”. Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku
dalam ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat. Yang menjadi obyek penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan barang-barang, peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan, aksioma, prinsip. Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang menjadi pokok perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa sehari-hari, maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan.

2. Imanuel Kant mempunyai aliran atau filsafat ″kritik” yang tidak mau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi. Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi. Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara pengalaman indrawi yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan harus kita teliti. Kant terkenal karena tiga tulisan: (1) Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu. Kemudian diperinci lagi misalnya menurut kategori sebab dan akibat dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa, dan dunia. (2) Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan. (3) Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan yang khusus.

3. Rene Descartes. Berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku ada. Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res extensa dan res copgitans”.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.
* [[Metafisika]] mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam bidang ini, hakikat yang ada dan keberadaan (eksistensi) secara umum dikaji secara khusus dalam [[Ontologi]]. Adapun hakikat manusia dan alam semesta dibahas dalam [[Kosmologi]].
* [[Epistemologi]] mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (''episteme'' secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
* [[Aksiologi]] membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: [[etika]] dan [[estetika]].
* [[Etika]], atau filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, suara hati, dan sebagainya.
* [[Estetika]] membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek [[seni]] dari berbagai macam hasil budaya.












FILSAFAT ILMU ISLAM


I. PENDAHULUAN
Membicarakan masalah ilmu pengetahuan dan filsafat, kita akan memperoleh berbagai pengetahuan dan hikmat. Karena ilmu akan memberikan kepada kita pengetahuan dan filsa¬fat akan memberi kita hikmat. Secara ringkas dapat
dikata¬kan bahwa filsafat meliputi lima cabang pembahasan yakni: logika, estetika, etika, politika dan metafisika. Dengan jelas dapat kita amati bahwa bersama perjalanan waktu ilmu pengetahuan berjalan maju dengan pesatnya, sementara filsafat berjalan lambat dan pelan. Ha1 ini disebabkan karena filsafat lebih banyak memikul beban yang berat daripada ilmu. Karena tugas filsafat adalah menyelesaikan porsoalan ¬persoalan yang belum mendapatkan penyelesaiannya dalam bi¬dang ilmu/dal.am lapangan ilmu. Diantara persoalan persoalan pelik yang harus diselesaikan filsafat adalah penentuan mana yang baik mana yang buruk, disamping filsafat juga mencari dan menentukan sampai dimana batas kebebasan, dan lebih dari itu iapun membicarakan masalah masalah hidup dan mati. Oleh sebab itu setiap ilmu sebenarnya selalu dimulai dengan filsafat dan berkesudahan sebagai seni. Ia tumbuh dalam hypothesis tinjauan ilmu dan terus mengalir menurut¬kan arus kemajuan. Sedangkan filsafat adalah sebagai interpretasi dari sesuatu yang belum dikenal dengan sungguh sungguh sebagai adanya dalam lapangan etika dan filsafat politik, jika keduanya menjadi terang, maka sesungguhnya yang membawanya ke tempat terang adalah filsafat sehingga menjadilah ia ilmu. Itulah sebabnya ilmu dikatakan dimulai dari filsafat dan berakhir sebagai seni. Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bias menjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).

A. Islam dan Ilmu Pengetahuan
Islam yang agama samawi itu diturunkan ke bumi diantara missinya adalah untuk mengeluarkan manusia dari gelapnya kebodohan kepada terangnya cahaya ilmu pengetahuan. Melalui sejarah dapat kita kenali bahwa runtuhnya kerajaan Romavi Barat pada abad kelima masehi mengakibatkan merosotnya kehidupan pada umumnya, yang tergambar, pada¬ berkuasanya suku suku Barbar di dalam emporium tersebut. Pada masa itu dan berkepanjangan sampai abad kesebelas Masehi, sejarah teah menyebutnya negara Barat sebagai “Za¬man Pertengahan yang gelap”, dimana Eropa ditutupi oleh a¬wan tebal dan kemunduran peradaban, yang tergambar pada tabir teba1 antara akal manusia dan dunia sekelilingnya, dan menganggap bahwa ilmu ilmu keduniaan mengangkat derajat manusia, bertentangan dengan keimanan mereka (Kristen). Pada waktu negara Barat dalam kegelapan seperti itu justru negara Timur dalam kondisi yang sebaliknya, yaitu
semenjak kebangkitan Islam pada abad keenam masehi, dengan Islam manusia memperoleh kembali kehormatannya dan terbebas dari kebiadaban jahiliah. Sehingga selama lima abad dari abad ketujuh sampai abad keduabelas Islam dapat meng¬uasai dunia dalam segi kekuatan, sistem, kekuasaan, dan dengan meningkatnya tingkat hidup, kajian ilmiah, sastra, sins, kedokteran dan filsaafat. Dunia Barat waktu itu mulai berhubungan dengan dunia Islam yang sudah berperadaban tinggi mulai permulaan abad keduabelas masehi melalui jembatan peradaban Islam ke dunia Barat yang terkenal seperti Andalusia dan Sisilia. Pendidikan Islam sangat menekankan ilmu ilmu agama tetapi melalui bentuk bentuk pengetahuan lain, mulai dari keadilan Tuhan sampai ilmu farmasi. Islam memandang pengetahuan seba¬gai sesuatu yang suci, sebab semua pengetahuan pada akhir¬nya menyanglcut semacam aspek dari manifestasi Tuhan kepada manusia. Pandangan yang suci tentang pengetahuan inilah yg mewarnai keseluruhan sistem pendidikan Islam sampai hari ini. Dimana orang orang Islam melihat ada dua jalan yg terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan formal, yaitu yang pertama melalui kebenaran yang diwahyukan, yang sesudah diwahyukan dipindahkan dari generasi kegenerasi berikutnya, yang disebut (‘Ulum al Naqiah), dan yang kedua adalah pengetahuan ynng diperoleh melalui kecerdasan atau akal yang diberikan Tuhan kepada manusia pada tahap inte1ek dan rasio yang disebut (‘Ulum al ‘Aqliah). Kedua ilmu tersebut disebut dengan ilmu perolehan yang harus ditambahkan dengan hikmah dan perasaan yang disebut dengan ilmu al Huzuri. Pada abad ke 19 ini. orang orang Islam dihadapkan lagi kepada serangan ilmu ilmu Barat yang mengancam jenjang ilmuilmu dalam Islam dan keseimbangan dalam sistem pendidikan¬nya, yang apabi1a orang-orang Islam tidak waspada maka pada gilirannya akan membawa kehancuran yang belum pernah terjdadi dalam sejarah Islam sebelumnya. Pada zaman modern yang diawali dengan renaisance, yaitu suatu gerakan yang didorong oleh cita cita akan lahir¬nya kembali manusia yang bebas tanpa mau diikat oleh dogma spiritual apapun, maka filsafat yang semula menyatu dengan agama menjadi memisahkan diri dari agama. Karena menurutnya bahwa filsafat adalah akal pikir dan pengalaman, sedangkan agama adalah keyakinan dan dogma. Yang berakibat selanjutnya bahwa kehidupan menuju kepada sekularisme dimana masalah masalah keagamaan mutlak dipisahkan dengan masalah masalah keduniawian. Ilmu ilmu seperti fiqh, tasawuf dan ilmu kalam adalah jenis jenis ilmu keagamaan, olah karena itu tidaklah aneh apabila ilmu ilmu tersebut berbenturan dengan filsafat dan berusaha menyingkirkan filsafat dari kehidupan. Yang pada akhirnya agama berhasil mengalahkan filsafat dan mengharamkan pemikiran filsafat, serta menuduh kaum filosof sebagai orang orang kafir dan atheis. Akan tetapi sebagian peneliti sejarah filsafat lupa bahwa filsafat ditegakkan atas dasar ilmu pengetahuan dan alam bukan at:as dasar agama. Filsafat memang mencurahkan perhatiannya kepada semua alam wujud, untuk memperoleh petunjuk meyakinkan tentang eksistensi zat yang menciptakannya, sehingga ia disebut “ilmu ilmu Illahi”, sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles. Oleh karena itu setiap filosof pasia menguasai ilmu pengetahuan tentang alam dan metafisika, akan tetapi tdak semua yang mengetahui ilmu pengetahuan tersebut pasti filosof, jika ia hanya berhenti pada ilmu pengetahuan tertentu yang menjadi spesialisasinya Oleh karena itu para filosof Islam seperti; A1 Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, disamping sebagai filosof adalah mereka itu menguasai berbagai macam disiplin ilmu, seperti astronomi, kedokteran dan lain lain. Namun setelah abad keenam Hijrah orang merasa telah cukup membahas masalah masalah filosofis yang diwarisi dari para pendahulunya tanpa bertopang pada alas ilmu pengetahuan yang melahirkan filosofis itu sendiri. Dengan demikian maka putuslah hubungan antara filsafat dengan bumi tempat berpijaknya semula yang telah memberi “umpan” dan mengalirkan “darah” ke dalam tubuhnya., Akhirnya filsafat hanya men jadi kepala yang tan¬pa tubuh, kemudian mati dan baru bangkit kembali setelah bangsa Timur kembali bertekad untuk menguasai lagi ilmu pengetahuan. Akan tetapi kini pertarungannya bukan filsafat dengan agama, melainkan pergulatan sengit antara ilmu pengetahuan melawan agama, yang bisa dibilang masih berkobar hingga kini. Agama, ilmu pengetahuan, seni dan sastra serta teknologi dan ekonomi merupakan hal hal yang menjadi ciri peradaban bangsa bangsa di dunia, yang satu lama lain saling mengisi dan mempengaruhi. Agama, filsafat dan ilmu dahulu pernah memainkan peranan penting dalam pentas peradaban Islam. Ketika itu filsafat dalam pertarungannya mempergunakan senjata ilmu pengetahuan. Kemudian setelah tiga unsur tersebut menemukan persesuaian dan keserasian maka berkembanglah peradahan Islam. Negara negara Islam bertambah ko¬koh dan kuat sehingga wilayah kekuasaannya meluas dari In¬dia di Timur sampai ke Andalusia di Barat. Namun kemudian seteah filsafat di singkirkan dari pembahasan dan penelitian sebagai jenis ilmu, dan setelah mereka yang hidup pada zaman berikutnya membatasi kegiatan hanya sampai pada penguraian buku buku yang ditulis oleh para pendahulunya, fil¬safat Islam cemakin melemah dan terpental keluar gelanggang

B. Perkembangan Ilmu Menuntut Pengembangan Pendidikan

Orang sering menganggap bahwa ilmu itu sebagai suatu kesatuan di luar dan di atar waktu yang terdiri atas himpunan himpunan petunjuk petunjuk dan pernyataan pernyataan. Ketika pandangan mengenai ”filsafat abadi” disisihkan oleh pandekatan historis, maka ilmu mulai mengambil alih tempat kosong itu. Pandangan itu selah karena justru dari warsa terakhir ini makin menonjol kenyataan bahwa ilmu tidak ada di melainkan berubah. Pertama dalam arti yang lebih sederhana bahva tidak ada ilmu yang selesai. Oleh karea ia sebagai ilmu apabila merupakan obyek yang selalu dipertanyakan dan akan selalu dipertanyakan tidak pernah mengenal titik henti, dan ia memiliki alasan alas an tertentu kenapa dipertanyakan. Para ilmuwan akan selalu dapat mengembangkan ilmunya lebih lanjut, karena ilmu bukan ibarat sebuah rumah dengan dasar abadi yang sepanjang sejarah hanya dilengkapi dengan tingkat tingkat baru. Strulkur ilmu bahkan apa yang disebut pokok ilmu mengalami perubahan, dimana pendapat ini berda¬sarkan dua segi peneropongan dalam penyelidikan. Pertama: Sejarah mengenai. penyelidikan ilmu ilmu membawa kita kepada pengertian bahwa bagi ilmu yang sama, arti istilah yang dipergunakan berbeda bada pada waktu yang berlainan. Sebagai contoh arti lurus untuk geometri euklidis dan geometri ne¬reuklidis, psikologi klasik behavioristis dan psikologi masa kini dan seterusnya. Kedua, karena pengaruh antropologi budaya, sejarah kebudayaan dan sejarah ide ide, maka timbul apa yang baru disebut sebagai ilmu baru yang disebut “Kulturologi”. Secara radar kita mengakui bahwa bagaimanapun orang akan selalu memikirkan pendidikan anak anak dan generasi mendatang mereka. Karena dorongan dorongan keprihatinan itu maka secara tidak mendalam kadang kadang sering tanpa desain generasi demi generasi kita mengupayakan bagaimana mengupayakan tempat dalam masyarakat untuk anak anak dan gene¬rasi mendatang, kendatipun mereka tidak selalu sadar apa yang harus mereka lakukan, mereka merencanakan pendidikan dan dalam arti tertentu mengkontruksikan filsafat untuk itu. Dilihat dari segi ini maka filsafat pendidikan dapat dipandang sebagai suatu rencana atau gagasan untuk memungkinkan masing musing generasi penerus memenuhi dirinya mengembang dan potensi potensinya dan mengambil tempatnya dalam suatu masyarakat dan dunia yang terus dan akan terus berubah dan yang semakin komplek serta membingungkan. Oleh karena maksud maksud pendidikan selalu berhubu¬ngan dengan maksud maksud dari kehidupan, maka maksud dari pendidikan tidak dapat dimengerti secara terpisah dari kehidupan itu sendiri. Sehingga dapat diungkapkan bahwa
fil¬safat hidup yang memadai adalah merupakan prasyarat dari suatu filsafat pendidikan yang sehat. Karena salah satu tugas penting filsafat semenjak jaman Yunani sampai sekarang adalah merumuskan obyektif obyektif dan isi dari suatu kehidupan yang memuaskan. Sedangkan tugas pendidikan adalah menuntun pertumbuhan dan perkembangan diri anak didik agar mereka menjadi. warga negara yang kompetens dan berjiwa kemasyarakatan, sehingga mereka akan mampu berbuat untuk kepentingan umum, bukan hanya untuk tujuan tujuan sempit (di¬rinya sendiri). Langkah pertama yang harus diambil dalam memperbaiki proses pendidikan dalam sistem pendidikan yang dilaksana¬kan di negara-negara Islam adalah berusaha membina filsa¬fat pendidikan yang menyeluruh, realistik dan fleksibel yang mengambil landasan landasan dan prinsip prinsipnya dari prinsip prinsip dan ajaran Islam yang mulia. Akidahnya berkaitan dengan watak alam, manusia, masyarakat serta kehidupan, dan juga hubungan elemen elemen ini satu lama lain disatu segi, dan hubungannya dengan penciptanya di segi yang lain, juga yang berhubungan dengan watak ilmu pengetahuan manusia, watak nilai nilai moral dan watak proses pendidikan serta fungsinya dalam kehidupan. Penentuan filsafat pendidikan terhadap sistem pendi¬dikan manapun, dimana pencipta penciptanya menginginkan kemajuan dan keteguhan bangunan serta asasnya dianggap sangat penting bagi sistem itu dan merupakan langkah utama kearah perbaikan. Agama Islam disamping sebagai agama akal yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, maka sesuai dengan missinya, ia adalah penyempurna akhlak manusia. Hal ini ditegaskan dengan sabda Nabi SAW:
“Bahwa sesunggnnya aku diutus kedunia ini untuk menyempurnakan ahlak manusia”. (A1 Hadits)
Bahwa Islam telah menetapkan akhlak memiliki nilai penting dalam kehidupan ini, yang ketinggalan derajatnya terletak dibawah derajat iman yang memiliki rukunnya yang enam itu. Karena justru akhlak ada1ah merupakan salah satu buah iman dan ibadat. Dimana tidaklah sempurna iman dan ibadah seseorang apabi¬la dari keduanya tidak melahirkan akhlak yang mulia. Begitu penting dan luhurnya kedudukan akhlak ini sampai sam¬pai Allah telah memuji kemuliaan akhlak utusannya, Akhlak yang ditetapkan sebagai buahnya iman seseorang memang 1ayak untuk mendapatkan perhatian dalam proses pendidikan, terlebih menyongsong abad globalisasi dimana bangsa Indonesai dengan budayanya yang berbeda dari budaya Barat, dituntut untuk mampu duduk sejajar dalam berbagai persoalan kehidupan. Sungguh masa depan bangsa ini perlu diterawang dengan keprihatinan dan upaya untuk senantiasa menyelipkan ajaran agama dalam setiap sisi proses pendidikan, karena pendidikan memandang manusia seba¬gai obyek dan sekaligus subyek pendidikan. Sebagai obyek, karena ia menjadi sasaran pendidikan terutama dalam kapa¬sitasnya sebagai anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Sedangkan ciri dari perkembangan dan pertumbuhan itu men¬jadi perhatian pendidikan untuk dipengeruhi dan diarahkan.

IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan tentang Agama (Islam) dan Filsafat Ilmu dalam Perspektif Pengembangan Pendidikan dapat diambil suatu kesimpulan sementara bahwa Islam sebagai agama langit yang bersumber kepada wahyu Allah sudah sepantasnya bila ajarannya senantiasa dikaitkan dengan segala macam bentuk usaha manusia di bidang pengembangan pendidikan sebagai salah satu sarana memperoleh ilmu pengetahuan. Hal itu karena filsafat Islam yang merupakan penyelidikan tentang pengetahuan ilmiah dan cara-cara memperolehnya semata-mata hanya menggunakan akal sebagai modal dasarnya. Sementara itu menghadapi era globalisasi dimana arus kebudayaan Barat melalui berbagai media dengan derasnya mengalit ke bumi Indonesia yang sedang membangun bangsa ini, maka sudah barang tentu dituntut kewaspadaan kita semua untuk mengantisipasi membanjirnya budaya Barat tersebut yang terkadang bertentangan dengan budaya bangsa dan terlebih norma agama kita, dengan menemukan kembali epistemologi Islam dan menerapkannya dalam pengembangan masyarakat bangsa melalui jalur pendidikan, yakni dengan memberikan nafas Islam dalam seluruh aktivitas proses pendidikan. Karena hanya dengan cara itulah bangsa ini akan dapat diselamatkan. Wallahul muwafik ila aqwamit tariq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar